Artikel di bawah ini pernah gw ikutin di suatu lomba, tapi sayang gak berhasil menang. Ya udah cukup terbit di blog aja..selamat baca!
***
Permasalahan pendidikan, merupakan hal yang selalu menarik untuk diperbincangkan. Baik di pagi hari, siang, atau tengah malam sekalipun. Bisa dimulai dari pendanaan yang tak kunjung optimal dari birokrat, banyaknya siswa yang putus sekolah, tindak kriminal terhadap para siswa sekolah, sistem pendidikan yang terus berganti, kebijakan-kebijakan yang tak menguntungkan pelaku pendidikan, dll.
Hampir semua permasalahan seperti tiada akhir. Solusi jitu yang didamba berbagai pihak pelaku pendidikan, hanyalah seperti yang ditera dalam peribahasa 'bagai pungguk merindukan bulan'. Pemerintah seperti bingung arah dalam mencari solusi terbaik yang bisa mendorong tingkat pendidikan di Indonesia sampai ke puncaknya. Sedangkan dari rakyat sebagai pelaku pendidikan juga hanya bisa termangu menggigit jari tanpa bisa berbuat apa-apa selain mengkritisi habis-habisan berbagai langkah kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Apa sebenarnya yang menjadi pucuk permasalahan tiada henti ini? Sistemkah? Lingkungankah?.
Sebenarnya dari kita kecil, dimulai dari Sekolah Dasar (SD) kita sudah seharusnya bisa menilai, apa-apa yang menjadi kekurangan dan apa-apa yang menjadi kelebihan. Sampai beranjak ke tingkat selanjutnya di tingkat SMP, lalu SMA, dan terakhir Perguruan Tinggi kita juga seharusnya bisa tetap melakukan hal yang sama dan tentu dengan tingkat kekritisan yang berbeda-beda. Jika kita coba perhatikan, ada kekurangan yang bisa dirangkum secara global dalam konteks pendidikan di Indonesia dari dulu hingga saat ini.
Pertama, kurikulum pendidikan kita kurang menekankan pentingnya studi yang dalam dan berkelanjutan mengenai wawasan nusantara. Hal ini bisa dilihat dari kurangnya jam mata pelajaran/kuliah mengenai Kewarganegaraan (PPKn). Dari waktu penuh jam pelajaran/kuliah selama seminggu, pelajaran/kuliah tersebut hanya mendapat sorotan sekitar 2-2,5 jam. Hal ini akan berdampak pada kurangnya rasa nasionalisme para siswa/mahasiswa.
Kurangnya rasa kecintaan pada tanah air tersebut juga akan berdampak lebih jauh lagi pada saat para siswa/mahasiswa sudah selesai dalam menempuh pendidikan dan sudah waktunya dalam memilih pekerjaan. Orientasi utama pada saat itu kemungkinan besar hanya berorientasi pada segi material, yang jelas tidak meguntungkan bagi Indonesia sendiri dan bukannya berorientasi berbuat dan berkontribusi semampunya untuk Indonesia.
Kedua, kurikulum pendidikan yang kurang menekankan pentingnya studi yang juga dalam serta berkelanjutan mengenai Agama. Tak jauh berbeda dengan permasalahan pertama dimana dari waktu penuh jam pelajaran/kuliah selama seminggu, pelajaran/kuliah mengenai Agama masih sangat kurang. Apalagi di tingkat Perguruan Tinggi dimana mata kuliah Agama hanya mendapat sorotan sebesar 2 SKS dari sekitar 140-an SKS.
Padahal pendalaman materi mengenai agama sangat penting melihat posisi agama merupakan pembentuk terbaik serta utama bagi kepribadian dan moral seseorang. Jelas orang yang memiliki pengetahuan agama yang tinggi kehidupannya juga akan diselimuti dengan selimut keagamaan yang tinggi. Dengan kata lain, pendidikan kita disorot dari segi moral, akidah, serta akhlak masih sangat kurang.
Ketiga, kurikulum pendidikan/pelaku pendidikan dari segi pengajaran kita yang kurang mengarahkan para siswa/mahasiswa untuk nantinya setelah selesai sekolah/kuliah menciptakan sesuatu. Jadi disini, kurangnya hal tersebut akan membentuk kepribadian konsumtif dari para siswa/mahasiswa dan bukannya kepribadian yang produktif serta mampu bersaing di masa yang akan datang.
Hal ini juga sangat penting untuk disoroti melihat pengaruh globalisasi nantinya yang akan mempengaruhi langsung para pelaku pendidikan saat ini. Hal ini jelas terasa akibat buruknya, terutama bagi bangsa ini. Contoh bisa kita ambil, dari berbagai kebijakan yang diambil pemerintah mengenai pengolahan serta pemenuhan kebutuhan hidup rakyatnya sehari-hari.
Indonesia, negeri yang dikaruniai Tuhan dengan keberagaman serta keberlimpahan sumber daya alam serta manusianya, seharusnya mampu untuk mengoptimalkan SDA dan SDM tersebut jika melihat kuantitas dan kualitas sarjana kita yang bisa dibilang sangat cukup.
Tapi apa daya, sistem pendidikan yang tidak mengarah kepada ke-3 usulan tadi, membentuk kepribadian yang konsumtif bagi para siswa/mahasiswa yang pada akhirnya lebih memilih untuk meng-impor berbagai kebutuhan mendasar dari luar negeri.
Hal ini merupakan hal yang konyol, dan Indonesia bisa dikatakan sebagai negeri yang mubadzir, dan juga bukannya tidak mungkin jika nantinya Tuhan akan mengambil kembali SDA yang kita miliki sebagai bentuk 'kekesalan' karena kebodohan diri kita sendiri.
Jadi sistem pendidikan yang berdasarkan pada wawasan kebangsaan dan wawasan keagamaan yang mendalam, serta pengarahan kepada pelaku pendidikan untuk men-cipta dan bukannya mem-beli dirasa merupakan sistem pendidikan dasar yang ideal bagi bangsa yang telah rapuh dan berdiri tidak lagi dengan kaki sendiri ini. Semoga perubahan besar ke arah yang lebih baik bisa terjadi.
août 30, 2008
Inscription à :
Publier les commentaires (Atom)
Aucun commentaire:
Enregistrer un commentaire